Kamis, 20 Maret 2008

Daun Base

DAUN BASE PEMUJAAN WISNU
‘Pattram puspam phalam toyam,
‘Yo me bhakty-pracchati,
‘Tad aham bhaktyu pahrtam
‘Asn-mi prayat-tmanah.
Artinya :
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku, daun, bu­nga, buah-buahan, atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci aku terima.

Barangkali sloka itulah yang memberikan landasan kenapa umat Hindu khususnya di Bali selalu memerlukan base (daun sirih). Dalam merangkai banten, apalagi dalam bentuk canang, base selalu hadir. Daun yang berbau enak tersebut merupakan daun yang disebut-sebut sebagai lambang pemujaan, penghor­matan, bahkan zaman du­lu tetua tanpa base rasanya tidak enak.
Kehadiran daun sirih Bahasa latin disebut piper betle sangat dirasakan. Bahkan sering muncul ungkapan, seindah apapun sebuah cana­ng yang dibuat, tanpa di­lengkapi dengan don base, rasanya kurang lengkap, kurang sreg.
Bagitu dekat­nya base dengan konsep agama, maka base merupakan daun yang gampang dan mudah ditemukan seti­ap pekarangan rumah.
Base juga digunakan perlamba­ng pemujaan kepada Dewa Wisnu, disamping peran lainnya dalam banten. Ca­nang pun sejatinya hadir sebagai istilah dari daun sirih itu sendiri. Base sama dengan pecanangan.
Di sisi lain base kerap kali digunakan sebagai bahan obat, disenangi kaum tua untuk penikmat mulut atau memperkuat gigi.
Sirih atau base, sudah dikenal sejak zaman dulu, yang tersurat dalam sebuah lontar Nitisastra “Masepi tikang waktra tan amucang wang” (sepi rasanya mulut tanpa makan sirih).
Sirih pun zaman dulu mempunyai nilai sangat ti­nggi. Sirih, bukanlah daun yang tumbuh liar begitu saja, keseharian bisa saja dimanfaatkan untuk pengobatan ringan, misalnya untuk menghilangkan perdarahan ringan pada hidung. Belum lagi manfaat lainnya yang sangat dibutuhkan sebagai sarana Banten.

Tidak ada komentar: