Senin, 10 Maret 2008

CERITA CALON ARANG

Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : I - Juli 2003
Tebal : 92 hlm

Legenda Calon Arang telah sangat dikenal masyarakat kita. Kisahnya - seperti kebanyakan cerita rakyat lainnya - tersiar turun-temurun dari generasi ke generasi melalui tradisi tutur (lisan). Cara seperti mengundang kekhawatiran pihak-pihak yang peduli, bahwa pada suatu hari kelak legenda-legenda indah itu akan punah jika tak ada lagi orang yang bersedia menuturkannya. Maka lantas mulai dirasa perlu upaya menuliskan kembali dongeng, hikayat, legenda, dan cerita-cerita rakyat Nusantara. Termasuk dongeng Calon Arang ini.

Khusus untuk Calon Arang, sedikitnya sudah ada 3 buku yang terbit mengenainya dalam versi yang berbeda, yaitu Galau Putri Calon Arang (Femmy Syahrani), Calon Arang: Perempuan Korban Patriarki (Toety Herati), dan Cerita Calon Arang (Pramoedya Ananta Toer). Bagaimana jadinya ya cerita rakyat tersebut di tangan dingin Pram, sastrawan nomor wahid itu?

Kiranya hasilnya tak terlalu istimewa (atau justru istimewa ya?). Cerita Calon Arang oleh Pram tak banyak diutak-atik. Ia tetap berwujud sebuah dongeng hitam-putih plus bumbu "hal-hal ajaib" . Gaya Pram bercerita seperti seorang ayah mendongengi anak-anaknya. Bahasa yang dipakainya mengingatkan kita pada buku-buku dongeng kanak-kanak : Adalah sebuah negara. Daha namanya. Daha yang dahulu itu kini bernama Kediri. Negara itu berpenduduk banyak. Dan rata-rata penduduk makmur. Panen pak tani selalu baik, karena tanaman jarang benar diganggu oleh hama (hlm.9).

Siapapun yang membaca deretan kalimat di atas akan dapat dengan mudah memahaminya, seorang anak kecil sekalipun. Bahasanya begitu lugas memaparkan apa yang ingin disampaikan. Nyaris tanpa metafor-metafor berat dan gaya-gaya bahasa lain yang serbatinggi berbunga-bunga. Semuanya terasa sederhana, polos, apa adanya. Pram seolah memang sengaja menulis buku ini untuk konsumsi kanak-kanak, kendati ada juga deskripsi adegan kekerasan yang kurang cocok untuk dibaca anak-anak.

Pram benar-benar menulis dongeng, karenanya ia tetap membiarkan "ketidaklogisan" berlangsung di sepanjang cerita, karena "ketidaklogisan" itu sah-sah saja - malah tak jarang memberi daya pikat tersendiri - selama terdapat penjelasan yang bisa diterima logika dongeng. Umpamanya, Empu Baradah yang sanggup menghidupkan kembali orang yang sudah mati atau memantrai selembar daun hingga bisa dipakai sebagai sampan menyebrangi lautan.

Kalau dilihat dari sudut pandang cerita realis, kemampuan menghidupkan orang mati serta menyihir daun menjadi sampan terasa sangat tidak logis. Akan tetapi, dalam dongeng hal seperti itu dapat dimungkinkan sebab dilakukan oleh seseorang berilmu tinggi seperti Empu Baradah. Dongeng memiliki logikanya sendiri.

Sebagaimana disebut di atas, Cerita Calon Arang versi Pram ini sangat hitam putih : tokoh jahat berhadap-hadapan dengan tokoh baik (pahlawan) yang selalu berakhir pada kekalahan si tokoh jahat. Pesan moralnya sangat jelas : jadilah orang baik, jangan jadi orang jahat. Sebab orang jahat pada akhirnya akan binasa. Suatu nasihat yang hampir senantiasa menyertai cerita-cerita (dongeng) untuk anak-anak.

Dalam buku ini, tokoh jahatnya adalah seorang perempuan bernama Calon Arang. Ia gemar sekali melakukan kejahatan dengan ilmu hitam yang dikuasainya. Ia sakti mandraguna, pemuja Dewi Durga, dewi perusak alam semesta. Suatu kali, ia mengajak sang dewi bersekutu dengannya untuk menyebarkan bencana ke seantero negeri Daha hanya karena putri kesayangannya, Ratna Manggali, tak juga ada yang meminang. Dengan bantuan Dewi Durga, Calon Arang menebar teluh, mengakibatkan ratusan bahkan ribuan orang tak berdosa kehilangan nyawa.

Kala itu, Negeri Daha diperintah oleh seorang raja bijak bestari. Erlangga namanya. Sang Paduka berduka-cita melihat malapetaka yang menimpa rakyatnya. Ia pun lalu memerintahkan para prajurit istana untuk menyerbu kediaman Calon Arang dan menangkapnya. Kalau perlu bunuh di tempat.

Namun, ilmu perang para prajurit terbaik itu tak mampu menandingi kesaktian Calon Arang. Mereka pulang kembali ke ibukota kerajaan dengan menangggung kekalahan membuat raja dan seluruh rakyat bertambah gundah. Raja lalu memohon petunjuk para dewata cara terbaik mengatasi Calon Arang agar negerinya kembali aman tentram.

Permohonan raja dan seluruh rakyat Daha dikabulkan para dewa. Melalui petunjuk dewata, raja lantas meminta bantuan Empu Baradah, satu-satunya pendeta yang menurut para dewa akan mampu menghadapi Calon Arang.

Singkat cerita, Empu Baradah pun segera menyusun strategi demi mengalahkan musuhnya. Dengan sedikit kecerdikan dan tipu muslihat, akhirnya terbongkarlah rahasia kesaktian Calon Arang, yakni kitabnya. Maka, dengan demikian sang empu tak menemui kesulitan sedikitpun ketika harus bertempur dengan perempuan sakti itu. Calon Arang dan para pengikutnya ditumpas habis. Bencana pun berakhir. Empu Baradah bahkan menghidupkan kembali orang-orang yang mati terkena teluh Calon Arang.

Raja dan seluruh rakyat Daha bersuka-cita menyambut kemenangan itu. Kini mereka bisa hidup tenang tanpa ada gangguan lagi. Di masa tuanya, Raja Erlangga memilih hidup sebagai pendeta. Sebelum meninggalkan takhtanya, Raja Erlangga membagi dua kerajaannya kepada para putranya menjadi Kediri dan Jenggala.

Sejatinya, Cerita Calon Arang adalah perkawinan antara sejarah dan mitos (dongeng); fakta dan fiksi. Sebagian orang percaya, bahwa Calon Arang adalah putri seorang raja Bali yang diasingkan, sementara banyak juga yang beranggapan ia hanya tokoh rekaan saja. Adapun Raja Erlangga (Airlangga) dan kerajaan Daha fakta adanya. Walaupun mengikutsertakan Airlangga, namun agaknya Pram tidak sedang membuat sebuah fiksi sejarah melalui buku ini.

Tidak ada komentar: