Senin, 10 Maret 2008

SUTASOMA

KARYA sastra Sutasoma begitu populer di Tanah Air, termasuk di Bali. Kalau kita telusuri siapa yang paling berjasa mempopulerkan lakon Sutasoma buah karya Mpu Tantular di masa Majapahit ini, tak lain adalah seniman sastra Ida Bagus Sugriwa. Dari tangan beliaulah Kekawin Sutasoma menyebar di Bali.
Kepopuleran Sutasoma kemudian menyebar melewati batas sastra. Ia muncul dalam lakon wayang kulit, sendratari, lukisan di atas kanvas, lukisan yang menghias Bale Kambang di Klungkung, dan pergelaran tari. Mpu Tantular bisa dikatakan sebagai leluhur orang Bali. Ayahnya adalah Mpu Bahula, putra Mpu Baradah. Ibu Mpu Tantular adalah Ratna Manggali, putri tunggal Mpu Kuturan. Mpu Tantular menurunkan Danghyang Siddhimantra, Danghyang Panawasikan, Danghyang Kepakisan, dan Danghyang Smaranatha. Danghyang Smaranatha menurunkan Danghyang Nirarta dan Danghyang Angsoka.
Peninggalan para Mpu di atas bertebaran di Bali, terutama peninggalan Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta. Kenapa hanya keduanya yang populer? Itu disebabkan kedua leluhur ini meninggalkan tempat suci dan jasa yang langsung bersentuhan dengan agama Hindu, agama mayoritas orang Bali.
Mpu Kuturan, misalnya, dikenal sebagai perintis adanya desa pakraman dengan konsep Tri Kahyangan, yang tujuan awalnya menyatukan berbagai sekte yang ada di Bali.
Dahyang Nirarta yang datang lebih dari seratus tahun kemudian memperkenalkan konsep Padmasana sebagai pemujaan kepada Tuhan yang tidak membuat umat Hindu tersekat dalam desa pakraman. Pura peninggalan Mpu Kuturan seperti Pura Silayukti dan pura peninggalan Danghyang Nirarta seperti Pura Uluwatu menjadi pura penting di Bali.
Tetapi, kenapa Mpu Tantular tidak sepopuler kakeknya, atau tidak sepopuler cucunya di Bali? Pernah ada ide untuk mendirikan perguruan tinggi swasta di Bali dengan nama Mpu Tantular, tetapi tidak jadi. Yang berdiri justru Universitas Mpu Tantular di Jakarta. Museum Mpu Tantular ada di Kota Surabaya, berdiri di atas gedung di Jalan Taman Mayangkara 6, Surabaya. Meski museum itu merana dan sepi pengunjung, tetapi di situ tersimpan peninggalan Mpu Tantular dalam bentuk karya sastra.
Orang Bali lebih tahu tentang "karya" dibandingkan "sang pencipta". Mpu Tantular boleh jadi kurang dikenal, tetapi Sutasoma begitu populernya. Tari Oleg Tamulilingan begitu populer, tetapi Ketut Mario yang menciptakannya tidak dikenal orang. Lukisan wayang Kamasan juga populer, tetapi siapa yang melukisnya tidak dikenal. Pernahkah orang Bali merenung sejenak, siapa yang menciptakan dramatari arja, gambuh, topeng dan sebagainya?
Sesanti Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi lambang dari persatuan Indonesia. Sesanti itu tertulis di antara dua kaki Burung Garuda yang menjadi lambang negara. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika sudah otomatis menjadi simbol negara. Jika ada burung garuda tanpa ada tulisan itu, tak ada gunanya dipajang di kantor-kantor resmi, karena ia tidak lagi menjadi simbol negara.
Ketika membicarakan Bhinneka Tunggal Ika orang baru ingat akan Mpu Tantular. Namun, biasanya sekadar ingat begitu saja, bagaimana sampai sesanti (slogan) itu lahir, tidak banyak pula generasi kini yang mengetahuinya. Jawabnya hanya ada pada Kekawin Sutasoma.
Kekawin Sutasoma itu menceritakan petualangan spiritual Sutasoma sebelum dan sesudah menjadi Raja Hastina.
Bagian yang paling menarik memang saat munculnya sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Prabu Sutasoma siap untuk dijadikan korban santapan Batara Kala sebagai pengganti dari 100 raja yang sudah ditangkap oleh raja raksasa Purusada. Raja Purusada ini memang membayar kaul mengorbankan 100 raja kepada Batara Kala jika kakinya sembuh dari penyakit yang aneh.
Apa permintaan Prabu Sutasoma untuk keikhlasannya berkorban itu? "Nanging ana pamintaku, uripana sahananing ratu kabeh." (Tetapi ada permohonanku, hidupkanlah para raja itu semuanya). Begitu kata Sutasoma kepada raksasa Purusada. Pengorbanan diri Sutasoma ini menyentuh hati Batara Siwa yang menitis pada Purusada. Siwa kemudian meninggalkan tubuh Purusada dan kembali ke kahyangan.
Sutasoma gagal menjadi santapan Purusada, sementara 100 raja yang sudah ditangkap itu pun dilepaskan untuk kembali ke kerajaannya, mengembangkan gaya kepemimpinan yang berbeda, memimpin masyarakat yang juga berbeda-beda, bahkan masing-masing raja menganut keyakinan (aliran atau sekte) yang berbeda.
Mpu Tantular, Sang Mahakawya Yogiswara, menulisnya dengan: Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.
Kata Bhinneka Tunggal Ika ini mengusik hati Muhammad Yamin. Ia lalu mengusulkan kepada Bung Karno agar kata ini dijadikan lambang persatuan Indonesia. Soekarno lalu meminta Dalang Granyam dari Sukawati untuk mementaskan "wayang Sutasoma" agar lebih jelas menangkap makna dari sesanti ini. Dan sejarah pun mengukir, sesanti itu akhirnya menjadi simbol kenegaraan.
Kini sesanti itu akan dirayakan dengan gelar budaya yang syarat bernapaskan agama. Suara mahabajra akan digemakan, cakra pranawa akan dilantunkan. Kita harus berterima kasih kepada Sanggar Bajra Sandhi pimpinan Ida Wayan Oka Granoka. Kelompok inilah yang paling konsisten menggali napas ajaran Sutasoma dalam berbagai bentuk kreativitas seni dan menyebarkan ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Yunani.

Tidak ada komentar: